Perkembangan zaman yang
diharapkan akan menjadi lebih modern sangat mempengaruhi hampir semua negara, yang akhirnya banyak negara-negara yang mampu mengikuti perkembangan tersebut, namun dampak negatifnya adalah tidak sedikit juga yang malah jauh tertinggal. Dampak positif
yang muncul dalam dunia
modern tersebut adalah akan mendorong menjunjung tinggi bangunan demokrasi.
Menurut Plato seorang filosof besar dunia berbicara tentang demokrasi,
mengatakan
bahwa negara yang berjalan di atas bentuk demokrasi akan menuai bentuk kenegaraan yang ideal yang disebut welfare
state, karena demokrasi menginginkan peran negara dalam upaya melakukan reformasi struktur dan kultur Negara berdasarkan konstitusi dan peradilan yang independent, yang bertujuan
kesejahteraan
rakyat.
Memasuki orde reformasi,
tuntutan akan hukum yang berpihak kepada masyarakat menjadi hal utama dari beberapa hal yang lain. Secara konseptual dan strategis, ada empat pilar reformasi yang semestinya menjadi acuan dalam pembaharuan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain, termasuk pembaharuan di
bidang hukum. Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam demokrasi, rakyat
adalah sumber dan sekaligus yang bertanggungjawab mengatur dan mengurus diri mereka sendiri. Setiap kekuasaan harus bersumber dan tunduk pada kehendak dan kemauan rakyat. Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum. Hukum adalah penentu awal dan akhir segala kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi setiap orang. Ketiga, pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, sosial, dan
lain-lain, sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang mampu menjalankan tanggung jawab dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, mewujudkan kesejahteraan
umum dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Mengenai hal ini, ada satu
teori yang terkenal dari Montesquieu, yaitu Trias Politika yang memisahkan
secara tegas kekuasaan negara ke dalam 3 (tiga) kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan
yudikatif. Teori Trias Politika tersebut juga banyak mendapat kritikan,
penyebabnya adalah tidak ada kejelasan konsepsi tentang pemisahan kekuasaan
yang dimaksud, oleh karena itu teori tersebut dalam ilmu hukum dijabarkan dalam
teori fungsi dan teori organ. Problem yang kemungkinan muncul tidak akan berhenti pada penafsiran-penafsiran
tentang lembaga negara saja, terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan
kehakiman. Selain itu peluang terjadi sengketa antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah sangat mungkin terjadi, dan hal tersebut juga akan
menimbulkan masalah yang tidak kalah peliknya.
Banyak peristiwa-peristiwa
yang menarik untuk diperhatikan dalam mengawal reformasi tersebut, mulai dari pergeseran kekuasaaan, mekanisme pemilihan umum secara langsung dan peristiwa yang mendorong untuk terwujudnya sebuah tatanan demokrasi yang utuh. Hal ini menunjukkan bahwa teori hukum Indonesia sedang mengalami perkembangan, khususnya pada teori hukum tata negaranya. Gerakan reformasi yang bergulir pada tahun 1998, memerlukan sebuah kendali kearifan semua pihak, jika tidak maka akan berbalik arah menjadi
tantangan baru dalam bentuk eforia reformasi yang berlebihan.
Reformasi yang merupakan salah
satu bentuk dari tuntutan demokrasi menjadi landasan akan perlunya perubahan dalam beberapa tatanan hukum di Indonesia. Mulai dari substansi, struktur maupun kultur bangsa Indonesia tidak bisa
dipisahkan, yang salah satu tujuannya adalah law enforcement. Seiring dengan banyaknya tuntutan dalam agenda reformasi tersebut mau tidak mau harus dilakukan, jika
masih ingin dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Teori trias politika menurut Montesquieu (1689-1755), konsep trias politika adalah pembagian tiga kekuasaan (distribution of powers) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini gunanya, selain untuk menjamin kemerdekaan, juga untuk menjaga keseimbangan sehingga bergerak secara bersesuaian atau sejalan antara ketiganya. Berbeda dengan yang digagas Montesquieu, trias politika yang terbangun di Indonesia sekarang adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers). Sangat berbeda antara konsep pembagian dengan pemisahan. Dalam pembagian meniscayakan keselarasan, sedangkan pemisahan mendorong perpecahan. Maka yang kita lihat sekarang, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, saling unjuk kekuatan, tidak saling mendukung. Jangan heran jika ada anggota legislatif yang selalu menentang kebijakan apa pun yang datang dari eksekutif. Sementara pihak yudikatif dan eksekutif melalui aparat kejaksaan dan kepolisian tak segan-segan memeriksa dan menyeret ke penjara setiap anggota legislatif yang kritis terhadap eksekutif, atau anggota yudikatif yang kritis terhadap eksekutif.
Konsep trias politika adalah pembagian tiga kekuasaan (distribution of powers) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini gunanya, selain untuk menjamin kemerdekaan, juga untuk menjaga keseimbangan sehingga bergerak secara bersesuaian atau sejalan antara ketiganya. Berbeda dengan yang digagas Montesquieu, trias politika yang terbangun di Indonesia sekarang adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Teori trias politika menurut Montesquieu (1689-1755), konsep trias politika adalah pembagian tiga kekuasaan (distribution of powers) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini gunanya, selain untuk menjamin kemerdekaan, juga untuk menjaga keseimbangan sehingga bergerak secara bersesuaian atau sejalan antara ketiganya. Berbeda dengan yang digagas Montesquieu, trias politika yang terbangun di Indonesia sekarang adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers). Sangat berbeda antara konsep pembagian dengan pemisahan. Dalam pembagian meniscayakan keselarasan, sedangkan pemisahan mendorong perpecahan. Maka yang kita lihat sekarang, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, saling unjuk kekuatan, tidak saling mendukung. Jangan heran jika ada anggota legislatif yang selalu menentang kebijakan apa pun yang datang dari eksekutif. Sementara pihak yudikatif dan eksekutif melalui aparat kejaksaan dan kepolisian tak segan-segan memeriksa dan menyeret ke penjara setiap anggota legislatif yang kritis terhadap eksekutif, atau anggota yudikatif yang kritis terhadap eksekutif.
Konsep trias politika adalah pembagian tiga kekuasaan (distribution of powers) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini gunanya, selain untuk menjamin kemerdekaan, juga untuk menjaga keseimbangan sehingga bergerak secara bersesuaian atau sejalan antara ketiganya. Berbeda dengan yang digagas Montesquieu, trias politika yang terbangun di Indonesia sekarang adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Jika dilihat dari sejarah
pembagian kekuasaan, sebenarnya pada jaman Yunani kuno ketika dalam bentuk
polis pun telah mengenal adanya sidang umum, dewan harian dan badan-badan
pengadilan. Meskipun mesin cetak belum ditemukan saat itu, tetapi
manuskrip-manuskrip telah berkembang dan juga pada jaman itu melalui
’sekolah-sekolah’ yang dikelola oleh para filsuf-filsuf bisa dikatakan bahwa
pada jaman tersebut pengetahuan telah dimiliki oleh banyak warga, atau paling
tidak telah ada lapisan sosial yang mempunyai pengetahuan dan lapisan
masyarakat inilah yang mampu mendesakkan dan mengembangkan pembagian kekuasaan
dalam tata kelola hidup bersama.
Dalam kenyataannya, tidak ada
satu sistem yang benar-benar asli. Tidak ada teori
Trias Politika asli dan tidak ada sistem pemerintahan murni karena hampir semua
negara membuat sistem dengan sentuhan dan modifikasi sendiri-sendiri sesuai
dengan kebutuhan domestiknya.Teori Trias Politika yang selalu dikaitkan dengan
Montesquieu, misalnya, berasal dari John Locke ketika mengajarkan pemisahan
kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan federatif, namun di modifikasi
Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hasil modifikasi
Montesquieu inilah yang dianggap sebagai dasar teori Trias Politika, padahal
Montesquieu sendiri mengambilnya dari John Locke; sedangkan nama dan uraian
teoresasi tentang Trias Politika itu diberikan Emmanuel Kant.
Trias Politika yang
"dikira" berasal dari Montesquieu itu pun kemudian melahirkan sistem
pemerintahan berbeda-beda yang juga dapat dipertanyakan keasliannya. Amerika
Serikat melahirkan sistem presidensial yang memisahkan secara tegas antara legislatif
dan eksekutif dengan mekanisme checks and balances antar poros-porosnya.
Inggris melahirkan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen,
sedangkan di Swiss lahir sistem badan pekerja. Uniknya, di negara Montesquieu,
Prancis, dianut hybrid parliamentary-presidential system. Montesquieu
mengatakan, penerapan yang benar adalah sistem parlementer seperti yang berlaku
di Inggris. Jadi, sistem mana yang asli atau murni itu? Tampak jelas, sistem
ketatanegaraan yang asli atau murni itu tidak ada karena semuanya merupakan
penafsiran dan modifikasi sendiri-sendiri. Amerika, Inggris, Prancis, Swiss,
dan lain-lain membuat sistem ketatanegaraan berdasar pilihan politiknya.
Sistem presidensial di
Indonesia juga tidak mengikuti pola umum, meski pola umum itu tidak murni juga.
Pada umumnya, di dalam sistem presidensial, kekuasaan membentuk UU hanya ada di
parlemen, tetapi presiden mempunyai hak veto (hak menolak) yang kemudian dapat
diuji kembali melalui sejumlah dukunganminimal tertentu di parlemen. Namun, di
Indonesia presiden mempunyai hak bersama DPR untuk membentuk UU. Sistem
presidensial seperti yang dianut Indonesia itu hanya dipakai satu negara lain
di dunia, yaitu Puerto Rico. Dapat dikatakan, sistem ketatanegaraan suatu
negara adalah pilihan politik yang ditetapkan bangsa yang bersangkutan tanpa
harus mengikuti teori atau sistem di negara lain yang dianggap
"seolah-olah" asli atau murni. Harus diingat, yang dikatakan teori
asli atau yang berlaku di negara lain itu pun lahir karena dibuat dan setiap
negara berhak untuk membuat sistem sesuai kebutuhannya.
Reformasi di segala bidang
adalah salah satu dampak dari penegakan demokrasi, yang dalam kelembagaan
negara di Indonesia muncul lembaga-lembaga baru dengan harapan akan terciptanya
bangunan demokrasi yang benar-benar demokratis. Di dalam negara demokrasi
peradilan tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya, untuk Indonesia sistem
politik sejak proklamasi kemerdekaan 1945 telah mengalami beberapa perubahan
dimulai dari demokrasi liberal parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin
(1959-1967), demokrasi Pancasila (1967-1998), tiga fase yang menampilkan wajah
buram sistem peradilan dan kehidupan ketatanegaraan. 3 Fase-fase tersebut sangat dipengaruhi
oleh teori pembagian kekuasaan yang dibagi dalam tiga kekuasaan untuk
menjalankan kekuasaan negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif yang
saling mempengaruhi.
Dalam kaitan dengan perdebatan
publik yang sedang berlangsung di Indonesia mengenai hasil dan kemungkinan
amandemen (kembali) atas UUD 1945, berada pada posisi untuk mengatakan bahwa
berhak membuat sistem sesuai dengan kebutuhan. Namun, bukan berarti tidak boleh
ikut atau mengambil teori dan sistem negara lain. tidak harus tapi juga tidak
dilarang ikut teori atau sistem yang berlaku di negara lain yang dianggap asli
karena sebenarnya yang asli atau murni itu tidak ada. Ini sepenuhnya soal
kesepakatan atau pilihan politik setiap bangsa.
Hukum tata negara yang berlaku di suatu negara
adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara itu sendiri di dalam
konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori
tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan dengan yang
berlaku di negara lain. Sebagai wacana proses pembaruan konstitusi, bisa saja
teori, pendapat pakar, dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan
sebagai bahan pembaruan. Tetapi tidak terikat untuk mengikuti itu semua karena
memiliki tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri. Mungkin saja ada bagian
konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di
negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja sebagai pilihan
politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di dalam konstitusi
sesuai dengan politik hukum yang dipilih. Dengan sikap dan pandangan seperti
itulah untuk menghadapi tuntutan perubahan kembali konstitusi dengan berbagai
variasi alternatifnya.